Mengenal Keraton dan Kesultanan Sambas di Kalimantan
Seperti juga kawasan lain di Nusantara, terutama kawasan sebelah barat seperti Sumatra, Jawa, dan Kalimantan, sebagian besar masyarakatnya memeluk agama Hindu/Buddha. Dalam perjalanan sejarahnya, pengaruh budaya tersebut lama kelamaan berganti dengan pengaruh budaya lain, yaitu dengan masuknya agama Islam. Hampir di seluruh tempat di Nusantara ini, sepanjang ada hubungan dagang, pengaruh agama ini berkembang. Tidak terkecuali di Kalimantan Barat yang pada masa berkembangnya agama Islam terdapat sekurang-kurangnya tiga pemerintahan yang berwujud kesultanan. Ketiga kesultanan itu adalah Kesultanan Pontianak, Kesultanan Mempawah, dan Kesultanan Sambas.
Seperti juga di Jawa, di Kalimantan juga terdapat pusat-pusat pemerintahan kerajaan dari zaman kesultanan. Meskipun tidak semegah di Jawa, keraton-keraton di Kalimantan cukup menarik dengan bahan bangunannya sebagian besar dari kayu. Keraton Kesultanan Sambas terletak di sebuah kota kecil setingkat Kecamatan yang sekarang dikenal dengan nama Sambas. Untuk mencapai kota ini dapat ditempuh dengan kendaraan darat dari kota Pontianak ke arah baratlaut sejauh 175 km, melalui kota Mempawah, Singkawang, Pemangkat, dan Sambas. Lokasi keraton di pinggiran kota Sambas. Di daerah pertemuan sungai Sambas, Sambas Kecil, dan Teberau, pada sebuah tempat yang oleh penduduk di sebut Muare Ullakan (Desa Dalam Kaum) berdiri keraton Kesultanan Sambas.
Kesultanan Sambas
Berbicara mengenai zaman kesultanan tidak lepas kaitannya dengan perdagangan dan penyebaran agama Islam di Nusantara. Bermula dari perdagangan antarabangsa dan antarapulau di Nusantara yang secara tidak langsung bersamaan dengan penyebaran agama Islam. Akan tetapi kedatangan Islam di berbagai tempat di Nusantara tidaklah bersamaan, dapat tergantung dari situasi politik dan sosial-budaya daerah yang dikunjungi para pedagang. Sewaktu Sriwijaya berjaya pada sekitar abad ke-7-8 Masehi, Selat Melaka sudah mulai dilalui oleh pedagang-pedagang Muslim dalam pelayarannya ke negeri-negeri di Asia Tenggara dan Asia Timur. Intensitas perdagangan yang cukup tinggi di kawasan Asia mungkin disebabkan oleh kegiatan kerajaan Islam di bawah Bani Umayyah di bagian barat maupun kerajaan Tiongkok di bawah Dinasti Tang di bagian timur.
Sudah sepantasnya kalau kerajaan-kerajaan di sekitar Selat Melaka yang terlebih dahulu menganut agama Islam, karena selat ini merupakan jalur lalu-lintas perdagangan. Dalam sejarah Nusantara, proses islamisasi dimulai dari daerah sekitar selat yang ditandai dengan munculnya kerajaan-kerajaan bercorak Islam. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan “islamisasi” adalah ketika para tokoh pimpinan di suatu daerah, terutama raja, keluarga dan para pemukanya telah memeluk agama Islam secara resmi. Sebagai akibatnya sebagian besar rakyat ikut memeluk agama Islam, meskipun beberapa di antara mereka mungkin sudah lebih dahulu memeluk agama baru tersebut.
Dari Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu, proses islamisasi kemudian berlanjut ke Jawa. Di Jawa agama Islam berkembang untuk pertama kalinya di Gresik karena pada waktu itu Gresik sudah merupakan pelabuhan pusat perdagangan. Dari tempat ini kemudian agama Islam berkembang ke berbagai penjuru di Nusantara, terutama pada tempat-tempat yang ada hubungan dagangnya, seperti Ternate dan Tidore di kawasan timur nusantara.
Islamisasi di Kalimantan mungkin berlangsung atau dimulai dari Kerajaan Brunei, karena pada masa itu Brunei merupakan pelabuhan dagang yang paling terkenal di Kalimantan. Sebelum muncul Kerajaan Banjarmasin, di sebelah barat laut pulau ini terdapat kota pelabuhan terkenal, yaitu Lawe dan Tanjungpura. Kedua tempat ini berseberangan dengan pantai utara Jawa. Karena itu hubungan perdagangan banyak dilakukan dengan kota-kota pelabuhan yang ada di pantai utara Jawa. Melalui Lawe dan Tanjungpura, dieksport emas, intan, bahan makanan, dan hasil hutan ke kota-kota yang ada di Jawa. Pada masa yang kemudian, kota-kota yang ada di Jawa lebih banyak berhubungan dengan Sambas, Sukadana, dan Banjarmasin. Gejala ini menunjukkan bahwa Lawe dan Tanjungpura sudah tidak penting lagi.
Sebelum kedatangan Islam di Kalimantan, nama Sambas telah disebutkan di dalam Kakawin Nagarakertagama sebagai salah satu negara bawahan Majapahit. Ini berarti, pada waktu itu Sambas sekurang-kurangnya telah dikenal di Majapahit (Jawa). Dikenalnya Sambas bisa jadi karena keletakan dan fungsinya sebagai kota pelabuhan dan ada sumberdaya alam yang mendukung kelangsungan hidup pelabuhan tersebut. Dilihat dari keletakkan geografisnya, Sambas terletak di daerah pertemuan sungai besar yang tidak jauh dari laut lepas. Pada masa yang kemudian, ketika perdagangan sedang ramai, Sambas telah tumbuh menjadi sebuah kota pelabuhan yang besar. Dan pada akhirnya menjadi sebuah kota pusat pemerintahan dalam bentuk kesultanan.
Kesultanan Sambas merupakan kesultanan kecil yang kurang dikenal dalam percaturan sejarah Nusantara. Latar belakang sejarah berdirinyapun berkaitan dengan Kesultanan Brunei yang letaknya jauh di timurlaut Sambas. Menurut Sejarah Brunei, Kesultanan Sambas didirikan oleh Pangeran Sulaiman, putra Pangeran Raja Tengah, pada tahun 1619. Pangeran Raja Tengah adalah putra kedua dari Sultan Muhammad Hasan yang memerintah di Brunei pada tahun 1582-1598. Pangeran Raja Tengah kemudian dipercaya untuk membawahi wilayah Serawak. Dari pangeran inilah di kemudian hari terbentuk dinasti kesultanan yang memerintah Sambas.
Naskah Silsilah Raja-raja Sambas yang ditulis pada abad ke-17 menceriterakan tentang pembentukan Dinasti Sambas melalui perkawinan silang antara Pangeran Raja Tengah dari Brunei, Sukadana, dan Sambas (Kratz 1980, 254-267). Berkat perkawinan Raden Sulaiman dan E.A. Bungsu (anak Ratu Sepudak), telah lahir Raden Bima. Kemudian Raden Bima mendapat hak berdasarkan keturunan untuk menjadi raja Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Tajuddin dan membangun istananya sendiri, terpisah dari istana cikal bakal raja Sambas. Lokasi keraton di Muare Ullakan di daerah pertemuan sungai Sambas, Sambas Kecil, dan Teberau. Bangunan keraton ini bukan bangunan keraton yang sekarang ini.
Kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara telah memberi banyak informasi, namun Sambas baru dikenal luas mulai awal abad ke-17 Masehi. Kemunculannya pada peta-peta Portugis menempatkan pelabuhan itu masih cukup penting bagi para pedagang Eropa. Berkaitan dengan aktivitas perdagangan, kebanyakan sejarahwan mengacu pada sumber primer Belanda yang disebut Daghregister yang dibuat di Batavia pada tahun 1624-1682 untuk kepentingan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Dengan mengacu pada catatan harian ini Meilink-Roelofsz menyatakan bahwa Sambas muncul sebagai pelabuhan penting pada awal abad ke-17 (Meilink-Roelofsz 1962), bersama-sama dengan pelabuhan tetangganya seperti Sukadana, Kotawaringin, Banjarmasin menggantikan pelabuhan-pelabuhan yang pernah ada sebelumnya (Lawe, Sampit, Quodomdom, dan Tanjungpura)( Cortesao 1944, 224-226).
Catatan perjalanan Alexander Hamilton yang berkunjung ke pelabuhan-pelabuhan Kalimantan Barat termasuk Sambas pada tahun 1688-1727, menyebutkan bahwa Sambas merupakan satu-satunya kota penting di selatan sebuah tanjung. Sumber Kartografi lain sebagai penunjang, yaitu peta yang dibuat oleh Joan Blaeu (1654), menunjukkan bahwa Sambas terletak pada sebuah delta sungai besar di bawah Tanjung Datu.Berdasarkan sumber-sumber VOC, van Dijk juga mengungkapkan bahwa sejak 1604, para perunding Belanda (Pieter Aert) sudah berada di Sukadana (Dijk, tt). Kemudian pada tahun 1608, perunding tersebut kembali dengan membawa 633 buah intan dengan total 257 karat. Pada tahun 1609, ia menandatangani kontrak dengan Sultan Sambas, dalam upayanya memutus dominasi Brunei di kesultanan itu dan membangun sebuah pabrik di sana. Akan tetapi Belanda lebih banyak berhubungan dengan Sukadana yang letaknya jauh di selatan.
Pada awal abad ke-19 banyak sumber Eropa membuat deskripsi tentang Sambas tahun 1812. Salah satu di antara yang berkunjung ke Sambas adalah Hunt. Diceriterakannya bahwa Sambas merupakan sebuah permukiman di sebuah delta. Sungai yang membentuk delta tersebut mempunyai dua cabang. Cabang yang ke utara menuju Kinibalu, sedangkan cabang yang ke selatan menuju Sungai Landak, tempat pertambangan emas.
Aktiviti pertambangan emas diberitakan oleh Earl yang berkunjung pada tahun 1834. Tambang-tambang emas pada waktu itu berada di sekitar Sambas, Montrado, dan Mandor. Selanjutnya ia menceriterakan besarnya produksi emas, organisasi kerja, teknik pertambangan, dan hubungan dagang antara penambang Tionghoa dan Kesultanan Sambas dan Mempawah.
Sumber lain diperoleh dari catatan Pfeiffer yang berkunjung ke Sambas pada tahun 1852. Dituliskannya bahwa daerah Sambas sangat miskin; kota itu hanya dihuni oleh beberapa ribu orang saja, dan banyak orang Tionghoa yang berdiam di dalam perahu. Di mana-mana terjadi pemborosan makanan dan minuman terutama tuak. Orang-orang Belanda digambarkan hidup dengan penuh “kebebasan” dengan perempuan lokal sebagaimana orang-orang Perancis melakukannya di Otahcite. Sangat berbeda dengan orang-orang Inggris di Singapura dan Sarawak serta koloni-koloninya yang lain yang pernah dilihatnya.
Pada sekitar tahun 1830-an, Veth menceriterakan perjalanannya ke Borneo (Veth, 1854-1856). Di dalam bukunya ia menggambarkan aktivitas perdagangan maritim di tempat-tempat yang dikunjunginya. Sekitar 15-20 buah kapal layar berangkat dari pelabuhan Sambas dan 20-30 buah perahu besar lain dari Mempawah untuk tujuan Singapura dua kali setahun membawa bijih emas (pada waktu itu intan menjadi produk kedua). Sementara itu, orang-orang Tionghoa membawa sendiri ke negerinya.
Keraton Sambas
Jika didasarkan pada sumber sejarah yang sampai kepada kita, pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam di Nusantara, Sambas sudah dapat dikatakan kota. Dari letak geografisnya, seperti halnya kota-kota lain Sambas terletak di muara pertemuan sungai besar. Kota Sambas dapat dikatakan sebagai sebuah kota yang bercorak maritim di mana kekuatan militernya terletak pada tentara laut. Dalam hal ini sesuai dengan alam budaya Melayu yang lebih menekankan pada urusan perdagangan dan kelautan.
Masyarakat kota pusat kerajaan maritim lebih menitikberatkan kehidupannya pada perdagangan, yaitu suatu ciri yang erat berhubungan dengan kenyataan bahawa para saudagar lebih sesuai hidup dalam masyarakat kota bercorak maritim. Kekuatan militernya lebih dititikberatkan pada tentera laut, suatu ciri penting pula dan erat berhubungan dengan suasana politik serta perluasannya (Gerhard 1966, 191-192). Namun agaknya Kesultanan Sambas bukan merupakan sebuah kesultanan yang kuat, kerana tidak pernah tampil dalam sejarah Nusantara bahkan pernah menjadi bagian dari Banjarmasin.
Pusat pemerintahan Kesultanan Sambas terletak di daerah pertemuan sungai pada bidang tanah yang berukuran sekitar 100 x 300 meter membujur arah barat-timur. Pada bidang tanah ini terdapat beberapa buah bangunan, yaitu dermaga tempat perahu/kapal sultan bersandar, dua buah gerbang, dua buah paseban, kantor tempat sultan bekerja, balairung, dapur, dan masjid sultan. Bangunan keraton menghadap ke arah barat ke arah sungai Sambas. Ke arah utara dari dermaga terdapat Sungai Sambas Kecil, dan ke arah selatan terdapat Sungai Teberau. Di sekeliling tanah keraton merupakan daerah rawa-rawa dan mengelompok di beberapa tempat terdapat makam keluarga sultan.
Bangunan keraton yang lama dibangun oleh Sultan Bima pada tahun 1632 (sekarang telah dihancurkan), sedangkan keraton yang ada sekarang dibangun pada tahun 1933. Sebagai sebuah keraton di tepian sungai, dimana sarana transportasinya perahu/kapal, tentunya di tepian sungai dibangun dermaga tempat perahu/kapal sultan bersandar. Dermaga yang terletak di depan keraton dikenal dengan nama jembatan Seteher. Jembatan ini menjorok ke tengah sungai. Dari dermaga ini ada jalan yang menuju keraton dan melewati gerbang masuk.
Gerbang masuk yang menuju halaman keraton dibuat bertingkat dua dengan denahnya berbentuk segi delapan dan luasnya 76 meter persegi. Bagian bawah digunakan untuk tempat penjaga dan tempat beristirahat bagi rakyat yang hendak menghadap sultan, dan bagian atas digunakan untuk tempat mengatur penjagaan. Selain itu, bagian atas pada saat-saat tertentu digunakan sebagai tempat untuk menabuh gamelan agar rakyat seluruh kota dapat mendengar kalau ada keramaian di keraton.
Setelah melalui pintu gerbang yang bersegi delapan, di tengah halaman keraton dapat dilihat tiang bendera yang disangga oleh empat batang tiang. Tiang bendera ini melambangkan sultan, dan tiang penyangganya melambangkan empat pembantu sultan yang disebut wazir. Di bagian bawah tiang bendera terdapat dua pucuk meriam, dan salah satu di antaranya bernama Si Gantar Alam.
Sebelum memasuki keraton, dari halaman yang ada tiang benderanya, kita harus melalui lagi sebuah gerbang. Gerbang masuk ini juga terdiri dari dua lantai, tetapi bentuk denahnya empat persegi panjang. Lantai bawah tempat para penjaga yang bertugas selama 24 jam secara bergantian, sedangkan lantai atas dipakai untuk keluarga sultan beristirahat sambil menyaksikan aktivitas kehidupan rakyatnya sehari-hari.
Setelah melalui gerbang kedua dan pagar halaman inti, sampailah pada bangunan keraton. Pada bagian atas ambang pintu keraton terdapat tulisan “Alwatzikhubillah” (الوثيقباﷲ) yang berarti “Berpegang teguh dengan nama Allah”. Di bagian atasnya tulisan ini terdapat ukiran yang menggambarkan dua ekor burung laut yang bermakna “Kekuatan Kerajaan Sambas pada tentera laut”, dan angka sembilan yang berarti bangunan keraton ini dibangun oleh sultan yang kesembilan.
Di dalam kompleks keraton terdapat tiga buah bangunan. Di sebelah kiri bangunan utama terdapat bangunan yang berukuran 5 x 26 meter. Pada zaman kesultanan bangunan ini berfungsi sebagai dapur dan tempat para juru masak keraton. Di sebelah kanan bangunan utama terdapat bangunan lain yang ukurannya sama seperti bangunan dapur. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat Sultan dan pembantunya bekerja. Dari bangunan tempat Sultan bekerja dan bangunan utama keraton dihubungkan dengan koridor beratap.
Di bagian dalam bangunan tempat Sultan dan pembantunya bekerja, tersimpan beberapa benda pusaka kesultanan, di antaranya singgasana kesultanan, pedang pelantikan Sultan, gong, tombak, payung kuning yang merupakan lambang kesultanan, dan meriam lela. Meriam lela yang jumlahnya tujuh buah hingga sekarang masih dianggap barang keramat dan sering di ziarahi penduduk. Masing-masing meriam yang berukuran kecil ini mempunyai nama, yaitu Raden Mas, Raden Samber, Ratu Kilat, Ratu Pajajaran, Ratu Putri, Raden Pajang, dan Panglima Guntur.
Bangunan utama keraton berukuran 11,50 x 22,60 meter. Terdiri atas tujuh ruangan, yaitu balairung terletak di bagian depan, kamar tidur sultan, kamar tidur istri sultan, kamar tidur anak-anak sultan, ruang keluarga, ruang makan, dan ruang khusus menjahit. Di bagian atas ambang pintu yang menghubungkan balairung dan ruang keluarga, terdapat lambang Kesultanan Sambas dengan tulisan “Sultan van Sambas” dan tanggal 15 Juli 1933, tanda peresmian bangunan keraton. Di bagian dalam bangunan ini, pada kamar tidur Sultan tersimpan barang-barang khazanah Kesultanan Sambas, di antaranya tempat peraduan sultan, pakaian kebesaran, payung kesultanan, pedang, getar, puan, dan meja tulis Sultan. Pada bagian dinding terpampang gambar-gambar keluarga Sultan yang pernah memerintah Sambas.
Kembali ke halaman muka keraton menuju ke arah sungai Sambas. Di sebelah selatan halaman tampak sebuah bangunan yang mempunyai beberapa buah menara. Bangunan tersebut adalah bangunan Masjid Jami Sambas. Masjid ini luas lantainya sekitar 900 meter persegi. Seluruh bangunan dibuat dari kayu dengan atap dari seng. Di bagian depan terdapat dua buah menara yang menjulang dengan bagian atapnya meruncing. Bangunan masjid tersebut dibangun pada masa pemerintahan Sultan Abubakar Tajuddin (1848-1853).
Di bagian dalam masjid terdapat sebuah mimbar berukir berwarna kuning keemasan dan hijau. Letak dari mimbar ini bersatu dengan bagian mihrab. Ruangan utama ditopang dengan 24 buah tiang kayu, empat buah tiang terletak di bagian depan, kemudian tiang-tiang yang lain menopang bangunan yang bertingkat di bagian belakang. Pada bagian atas mihrab terdapat tiga relung hiasan, dan di bagian atasnya terdapat ruangan yang berfungsi sebagai tempat masuknya sinar matahari. Hal itu dapat dilihat keberadaan jendela kaca di bagian depan, dan dua buah jendela yang berfungsi sebagai ventilasi udara pada kedua sisinya. Bagian dinding masjid dikelilingi jendela kaca.
(BBU, Kerani Rendahan)
Kepustakaan:
Cortesao, O.J. Armando, 1944, The Suma Oriental of Tome Pires, an account of the east, from the Red Sea to Japan, written in Malacca and India in 1512-1555. [translated from the Portuguese MS in the Bibliotheque de la Chambre des Deputes, Paris, and edited by Armando Cortesao]. London: The Hakluyt Society, 2 vol, hlm. 224-226
Dijk, L.C.D. van, Nederlands vroegste betrekkingen met Borneo, den Solo-Archipel, Cambodja, Siam en Cochin-China, Amsterdam
Gerhard E. Lenski, 1966, Power and Privilege: A Theory of Social Stratification, New York: McGraw-Hill, hlm. 191-192.
Kratz, E.U., 1980, “Silsilah Raja-raja Sambas as a Source of History”, dalam Archipel 20, hlm. 254-267
Meilink-Roelofsz, M.A.P., 1962, Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago between 1500 and about 1630. ‘s Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Veth, P.J., 1854-1856, Borneo’s westerafdeeling, Geographisch, Statistisch, Historisch, voor afgegaan door eene Algemeene schets des Gandscher Eilands, 2 Vols. Zaltbommel