Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ragam Jenis Material Candi, Situs dan Bangunan Suci Kuno di Nusantara

 Orang sering bertanya, mengapa candi di luar Jawa dibuat dari bata. Jarang atau bahkan nyaris tidak ditemukan yang dibuat dari batu kali (istilah lain untuk menyebut batu andesit). Pertanyaan tersebut selalu terlontar dari hadirin yang ada dalam satu diskusi tentang kepurbakalaan yang menyangkut bangunan candi atau stupa. Padahal di Jawa juga banyak bangunan yang dibuat dari bata, termasuk yang ada di daerah Borobudur yang banyak menghasilkan batu kali. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, marilah kita bahas dari sisi lingkungan tempat dimana bangunan suci tersebut ditemukan.

Di Tanah Jawa, sebuah atau sekelompok (kompleks) bangunan suci umumnya dibangun di daerah pegunungan, di tepian sungai yang berbatu-batu, dan di daerah pertemuan sungai, kecuali bangunan suci yang dibangun di daerah dataran aluvial seperti Kompleks Batujaya dan Cibuaya yang dibangun di dataran aluvial tepian sungai Citarum, di pantai utara Kabupaten Karawang. Bahan baku untuk membuat bangunan pun banyak perbedaannya antara yang di Jawa pedalaman (pegunungan) dengan pesisiran. Di daerah pedalaman kebanyakan bangunan suci dibuat dari batu andesit. Namun tidak dipungkiri ada juga yang dibuat dari bata. Bangunan-bangunan suci yang dibangun di daerah Jawa Timur, khususnya di daerah Trowulan, sebagian besar dibuat dari bata.

Di daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta banyak terdapat kompleks bangunan suci. Bangunan-bangunan ini ditemukan di daerah pegunungan dan dataran rendah dekat aliran sungai yang berbatu-batu. Bangunan-bangunan suci baik yang berupa candi maupun stūpa hampir seluruhnya dibuat dari batu andesit, seperti Borobudur, Mendut, Pawon, Kalasan, Prambanan, Sewu, Plaosan, dan candi/stupa lain. Hanya sebagian kecil saja yang dibuat dari bata, seperti pada Candi Banon (“banon” dalam bahasa Jawa artinya “bata”) dan Candi Bowongan yang letaknya di dekat Borobudur, Mendut, dan Pawon.

Bagaimana halnya dengan bangunan suci yang ditemukan di Pulau Sumatra, Kalimantan, Bali, dan Nusatenggara Barat?

Lingkungan alam pulau Sumatra umumnya sama seperti Jawa, namun dataran aluvial dan sungai-sungainya berbeda dengan yang ada di Jawa. Dataran aluvial Sumatra mengambil tempat di sepanjang pantai timur atau timurlaut Sumatra dan arealnya cukup luas. Sebagian sudah merupakan tanah darat, dan sebagian lagi masih merupakan rawa-rawa gambut. Membelah dataran ini ada sungai-sungai besar. Mulai dari utara hingga selatan Sumatra terdapat sungai Barumun dan anak-anak sungainya (Pane dan Sirumambe) di wilayah Provinsi Sumatra Utara; Sungai Kampar, Rokan, Kuantan dan Indragiri di wilayah Provinsi Riau; Sungai Batanghari dan Merangin di wilayah Provinsi Jambi; Sungai Musi dan anak-anak sungainya (Lematang, Ogan, Komering, dan Kramasan) di wilayah Provinsi Sumatra Selatan; serta Sungai Tulang Bawang dan Sungai Sekampung di wilayah Provinsi Lampung. Sungai-sungai tersebut bermata-air di daerah kaki dan lereng Pegunungan Bukit Barisan dan bermuara di Selat Melaka dan Selat Karimata (Anwar dkk 1984: 192-194).

Sungai-sungai yang mengalir membelah dataran aluvial pantai timur Sumatra sejak dulu merupakan jalur transportasi dari dan ke daerah hulu. Pada jaman sejarah dimana arus perdagangan dengan India dan Tiongkok sedang ramai-ramainya, sungai-sungai ini sangat berperan sebagai jalur perekonomian tempat berlalu-lalangnya kapal-kapal niaga. Melalui sungai-sungai inilah masuk anasir kebudayaan India dan kerajaan-kerajaan asing lainnya. Tidak terkecuali masuknya ajaran Hindu dan Budha dari India. Dengan masuknya unsur kebudayaan asing dibangunlah bangunan-bangunan suci sebagai sarana pemujaan.

Pemukiman adalah tempat dimana manusia melakukan segala macam kegiatannya. Dari lingkungannya manusia dapat bertahan hidup dan mengelola lingkungannya. Di dataran aluvial Sumatra, manusia hidup di tepian sungai pada tanggul alam (natural levee) yang jauh dari banjir (Mundardjito 1985: 241-252). Di tempat itu manusia membangun tempat-tempat upacara dan pemukiman. Namun pemukiman ditempatkan di tepian sungai di antara tanggul alam dan air sungai. Hal ini untuk memudahkannya dalam memenuhi kebutuhan hidup. Bangunan untuk upacara religi ditempatkan di tanah darat yang tidak tergenang air ketika banjir karena harus terjaga kesuciannya. Bahan bangunan dibuat dari bata, bukan batu andesit yang banyak ditemukan di daerah pegunungan/gunung api seperti halnya di Jawa. Tanah aluvial baik dipakai sebagai bahan baku untuk membuat bata. Karena itulah bangunan-bangunan suci di Sumatra umumnya ditemukan di daerah aliran sungai.

Banguan suci di Sumatra umumnya dibuat dari bata dan bentuk bangunannya masif. Namun di daerah Padanglawas, Sumatra Utara bentuk bangunannya berbeda dengan yang ditemukan di tempat lain di wilayah Sumatra bagian tengah sampai selatan. Di Padanglawas bangunan-bangunan suci berukuran besar yang disebut biaro mempunyai dinding dan atap, misalnya Bahal 1-3, Tandihet 1-3, Si Pamutung, dan Si Sangkilon. Di Padanglawas ada juga “bangunan” suci yang masif (tidak mempunyai ruangan). Bangunan jenis ini ukurannya kecil dengan tinggi sekitar 2 meter dan sisi/garis tengah berukuran sekitar 1 meter. Bangunan ini berbentuk stūpa seperti yang ditemukan di Mangaledang dan Tangga-tangga Hambeng. Di kedua tempat ini bentuk stūpa dibuat dari batu andesit.

Keadaan yang sama seperti di Sumatra, di Kalimantan bangunan suci ditemukan di dekat tepian sungai. Di Kalimantan mengalir sungai-sungai besar seperti Sungai Kapuas di Provinsi Kalimantan Barat, Sungai Barito di Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, dan Sungai Mahakan di wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Di Kalimantan Barat ditemukan runtuhan bangunan suci di daerah aliran sungai Kapuas di Situs Nanga Sepauk dan Situs Nanga Serawai (OV 1914: 145-147). Bangunan suci di kedua situs ini merupakan bangunan suci ajaran Hindu dengan indikatornya lingga dan yoni. Namun di daerah pedalaman sungai Tekarik (anak sungai Kapuas) ditemukan sebuah tempat pemujaan yang dibuat dari sebongkah batu besar dengan ukuran 4 x 7 x 4 meter . Batu besar ini pada salah satu sisinya dipahat tulisan dan relief stūpa.

Awal peradaban di Nusantara ini ditemukan di Kutai, Kalimantan Timur. Dari daerah Kutai di Kabupaten Kutai ditemukan prasasti yang dipahatkan pada tujuh buah yūpa (tugu batu). Ekskavasi yang dilakukan di daerah tepian sungai Mahakam, dekat dengan lokasi tujuh buah yūpa, berhasil menemukan tiga gundukan sisa bangunan bata. Ketiga runtuhan bata tersebut lokasinya dekat dengan pertemuan Sungai Mahakam dan Sungai Kedang Rantau. Di Kalimantan Selatan, tepatnya di Situs Candi Agung dan Candi Laras juga ditemukan bangunan suci yang dibuat dari bahan bata. Kedua bangunan suci ini ditemukan dekat dengan aliran sungai Negara.

Lingkungan alam pulau Bali dan pulau Sumbawa merupakan lingkungan alam yang bergunung-gunung dan banyak batu padas. Pada lingkungan alam yang demikian, bangunan suci atau tempat yang dianggap suci dibangun pada dinding padas dengan cara memahatnya menjadikan relief bangunan atau arca. Sebagai tempat yang dianggap suci atau disucikan, tempat tersebut dibangun dekat dengan aliran sungai, meskipun sungainya kecil seperti parit. Dan sungai tersebut tidak berfungsi sebagai jalur transportasi air. Percandian Gunung Kawi dibangun dengan cara memahat dinding padas dekat dengan Sungai Pakerisan (Kempers 1977: 155-160). Pura Yeh Pulu juga dibuat dengan memahat relief pada dinding batu padas (Kempers 1977: 134-139). Demikian juga Gowa Gajah dipahatkan pada dinding padas yang di bagian bawahnya mengalir sebatang sungai kecil (Kempers 1977: 122-133). Pemandian yang ada di depan pintu Gowa Gajah merupakan sumber mata-air yang airnya mengalir ke sungai kecil di bawahnya.

Situs Wadu Pa’a yang letaknya di daerah kaki sebelah timur gunung Tambora dipahatkan pada dinding padas (Rouffaer 1910: 110-113). Di bagian bawahnya hanya merupakan lembah sempit dan terus menuju Teluk Bima. Jarak antara dinding padas dan bibir pantai sekitar 500 meter. Daerah sekitarnya merupakan daerah yang kering, seperti umumnya daerah-daerah di Nusatenggara yang merupakan daerah erratic rainfall (daerah yang hujannya tidak menentu). Dari Situs Wadu Pa’a pemandangan ke Teluk Bima tanpa terhalang. Mungkin dulunya kapal yang datang dari tempat lain dapat berlabuh di Teluk Wadu Pa’a yang merupakan “anak” Teluk Bima.

Dari contoh-contoh tersebut dapat dikemukakan bahwa pemilihan lokasi untuk membangun suatu bangunan suci di luar Jawa umumnya berbeda dengan di Jawa. Akibat dari keadaan lingkungan alam tempat bangunan suci tersebut dibangun, bahan baku untuk membuat bangunan pun berbeda dengan yang ada di Jawa, khususnya di Jawa Tengah di sekitar kaki dan lereng gunungapi. Bangunan-bangunan suci yang ditemukan di Sumatra umumnya dibuat dari bahan bata. Hanya bagian-bagian tertentu saja yang dibuat dari batu (batu andesit atau batu pasir). Di Kalimantan yang keadaan lingkungan alamnya hampir sama dengan Sumatra, bangunan suci dibuat dari bata. Hanya bagian tertentu saja, seperti arca yang dibuat dari batu andesit. Penempatannya juga di daerah tepian sungai pada tanggul alam yang tidak terlanda banjir.

Di Bali dan Nusatenggara, bangunan suci atau tempat pemujaan dibuat pada dinding-dinding padas. Di Bali bangunan suci dipahatkan pada dinding padas yang di bagian bawahnya terdapat sebatang sungai kecil dekat dengan mata-air seperti bangunan suci Gowa Gajah. Pada dinding padas Sungai Pakerisan, dibuat dengan cara memahat dinding sebuah “relief” yang berbentuk seperti bangunan candi yang ada atapnya. Tempat bersemedi, seperti bangunan gua juga dibuat dengan cara memahat dinding padas.

(BBU, Kerani Rendahan)


Kepustakaan:

Anwar, Jazanul, Sengli J. Damanik, Nazaruddin Hisyam, Anthony J. Whitten, 1984. Ekologi Ekosistem Sumatra. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Kempers, A.J. Bernet, 1977, Monumental Bali. Den Haag: van Goor Zonen.

Mundardjito, 1985. “Pola Pusat Upacara di Situs Muarajambi”. Dalam REHPA II, hlm. 241-252. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Oudheidkundige Dienst, 1914. “185. Sepaoek”. Dalam Oudheidkundig Verslag 1914 Tweede Kwartaal. Batavia: Albrecht & Co.

Oudheidkundige Dienst, 1914. “189. Nanga Serawai”. Dalam Oudheidkundig Verslag 1914 Tweede Kwartaal. Batavia: Albrecht & Co.

Rouffaer, G.P., 1910, “Oudjavaansche Inscriptie in Soembawa” dalam NBG 48: 110-113.