Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Situs Watu Pa’a dan Legenda Sang Bima (Pandawa Lima) di Pulau Sumbawa NTB

 Situs Wadu Pa’a letaknya tidak terlalu jauh dari pantai, pada sebuah dataran di tepian Teluk Wadu Pa’a, sebuah teluk kecil di sebelah baratdaya teluk Bima. Tempat ini cukup terlindung dari angin dan arus laut yang kuat, sehingga merupakan tempat yang ideal sebagai tempat berlabuh. Apalagi dekat dengan lokasi situs terdapat sumber mataair yang dapat dipakai untuk minum dan menambah perbekalan para pelaut dan saudagar yang singgah. Dari pelabuhan Bima, lokasi Situs Wadu Pa’a ada di sebelah baratlautnya, sekitar 1 jam pelayaran dengan menggunakan speedboat. Dengan jalur darat dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda empat dari Bima melalui Sanolo – Soromandi – Wadu Pa’a dengan waktu tempuh sekitar 1 jam melalui jalan yang berkelok-kelok. Situs ini terletak di Desa Kananta, Kec. Soromandi, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.

Pada tebing pantai sebelah baratdaya Teluk Bima, pada rangkaian tebing yang agak curam di sisi barat Doro Lembo (Bukit Lembo) ditemukan tinggalan budaya masa lampau yang berupa relief yang dipahatkan pada tebing. Sekeliling tebing merupakan tanah kering dan gersang yang hanya ditumbuhi beberapa tanaman keras dan perdu. Untuk mencapai lokasi tinggalan budaya ini dapat dicapai melalui laut dan darat dengan keadaan jalan yang rusak dan berdebu.

Legenda Sang Bima

Sekitar akhir abad ke-19 beberapa tinggalan budaya pengaruh kebudayaan India banyak ditemukan di pulau Sumbawa bagian timur. Hal ini diungkapkan oleh Rouffar pada tahun 1910. Situs dengan temuannya seperti Ganesa dan Siwa Mahaguru, lingga, dan prasasti banyak ditemukan di sekitar Teluk Bima, di kaki sebelah timur lereng/kaki Gunung Tambora. Salah satunya adalah Situs Wadu Pa’a. Cerita mengenai situs ini terdapat dalam buku Legenda Tanah Bima yang ditulis Alan Malingi. Dalam buku ini diceritakan adanya seorang tokoh setengah dewa yang dikenal dengan nama Bima. Tokoh ini adalah salah satu dari Pandawa Lima yang berasal dari Tanah Jawa. Mereka berlayar ke arah timur (karena di tempat asalnya sedang terjadi pergolakan) dan akhirnya terdampar di Pulau Satonda, sebuah pulau kecil di sebelah baratlaut Gunung Tambora.

Sementara itu, di wilayah daratan yang terhampar di ujung timur pulau Sumbawa terdapat pemerintahan desa yang dipimpinan para kepala suku yang disebut Ncuhi (Kepala Suku). “Ncuhi” asal kata “Ncuri” yang berarti “cikal bakal kehidupan bagi tumbuh-tumbuhan”. Untuk menjadi Ncuhi seseorang harus memiliki kelebihan di antaranya keterampilan, keahlian, keperkasaan serta kesaktian. Sebab dia adalah panutan seluruh rakyat yang dipimpinnya. Tutur kata dan perbuatannya selalu dituruti oleh seluruh rakyat.

Para Ncuhi diberi nama dan julukan sesuai nama wilayah yang dikuasainya. Ada lima orang Ncuhi yang sangat terkenal, yaitu Ncuhi Dara yang menguasai Bima Tengah, Ncuhi Parewa menguasai wilayah selatan, Ncuhi Dorowuni menguasai wilayah timur, Ncuhi Banggapupa menguasai wilayah utara, dan Ncuhi Padolo menguasai wilayah barat. Mereka ini hidup tenteram bersama rakyatnya.

Para Ncuhi ini telah mendengar akan terdamparnya Sang Bima di Pulau Satonda. Mereka khawatir akan keselamatan Sang Bima karena di pulau itu tinggal seekor naga. Namun akhirnya kekhawatiran mereka hilang manakala mengetahui Sang Bima menikahi putri naga, dan mereka juga mendengar akan kebaikan Sang Bima. Sang Bima banyak menolong dan mengajarkan kepandaian pada masyarakat sekitarnya.

Singkat cerita, manakala para ncuhi menghendaki seorang pemimpin untuk masyarakat Bima dan mau mencalonkan Sang Bima sebagai rajanya, mereka mendengar bahwa Sang Bima bersama istrinya akan pergi meninggalkan Sumbawa. Pada saat Sang Bima hendak meninggalkan Bima, dia didatangi oleh para Ncuhi untuk dimintai kesediaan menjadi pemimpin tanah Bima. Pada saat itu, Sang Bima sedang memahat tebing di mulut (maksudnya di seberang) Kota Bima, tepatnya di kaki bukit Lembo Desa Kananta. Karena didaulat menjadi Raja di Pulau Sumbawa, akhirnya Sang Bima meninggalkan pekerjaan memahat dinding, dan pergi ke daratan di seberang Wadu Pa’a.

Candi Tebing

Situs Wadu Pa’a (Batu Pahat) merupakan salah satu situs “Candi Tebing”, seperti “Candi Tebing” di Gunung Kawi Tampaksiring, Bali yang memiliki nilai sejarah yang cukup tinggi. Dilihat dari temuannya, Wadu Pa’a merupakan tempat pemujaan ajaran Buddha tetapi bercampur dengan ajaran Hindu yang memuja Siwa dengan petunjuknya berupa relief Ganesa, Siwa Mahaguru, Dhyanibuddha, dan relief stupa dengan berbagai tingkat payung (chattra ).

 Tinggalan budaya masa lampau di Situs Wadu Pa’a dibagi dalam dua kelompok yang masing-masing kelompok berjarak sekitar 500 meter. Kelompok I letaknya di sebelah utara, dan Kelompok II letaknya di sebelah selatan di ujung Teluk Wadu Pa’a. Dilihat dari jumlah/macam pahatannya, Kelompok I merupakan kelompok yang terluas. Pada kelompok ini terdapat sekurang-kurangnya 21 pahatan dalam berbagai bentuk. Dimulai dari bentuk yang paling utara ke selatan, yaitu bentuk Agastya; prasasti; relief dalam ceruk yang berbentuk lingga, lapik, dan Buddha; relief stupa dengan chattra bersusun; Ganeśa; stupa dengan chattra yasti tunggal; relief lingga-yoni; relief lingga; mahluk gana; relief dua stūpa dengan chattra bersusun 15; stūpa dengan chattra bersusun 11; stupa dengan chattra tunggal; stūpa bercabang tiga; tiga dasar stūpa; relief Dhyanibuddha Aksobhya/Ratnasambhawa (mudra tangan kanan tidak jelas apakah bhumisparsa atau wara) yang diapit sepasang stupa dalam sebuah ceruk; relief dua stupa dalam sebuah ceruk; relief dua lingga di dalam ceruk; lingga-yoni di dalam ceruk; lingga yoni di dalam ceruk; relief dua stūpa di dalam satu ceruk; dan relief lingga-yoni di dalam ceruk.

Prasasti singkat dipahatkan di bagian bawah relief arca Agastya, terdiri dari tiga kelompok pahatan tulisan. Ditulis dalam bahasa dan aksara Jawa Kuno. Keadaan tulisan sudah sangat aus sehingga hasil bacaannya tidak sepurna. Kalimat kelompok pertama tidak dapat terbaca, kelompok kedua terbaca sebagian “… Sake 631 (?), wesaka..”, dan kelompok pahatan ketiga terdiri dari dua baris kalimat yang berbunyi “… sapta dhya …” (pada baris pertama), dan “..lla..”. Hasil bacaan kelompok kedua mengindikasikan pertanggalan 631 Saka.

Pahatan pada Kelompok II letaknya sekitar 500 meter ke arah selatan dari Kelompok I. Pada kelompok ini terdapat pahatan relief yang menggambarkan tiga buah lapik, dan relief yang menggambarkan 16 buah stupa yang mengapit sebuah ceruk arca. Tepian ceruk ini memiliki pahatan berbentuk pilaster, sedangkan pahatan stūpa ada di sebelah utara ceruk.

(BBU, Kerani Rendahan)

Kepustakaan:

Henri Chambert-Loir, 2004. Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia dan Ècole française d’Extrême-Orient.

Noorduyn, J., 1987. “Bima en Sumbawa”. Dalam Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor taal-, land-, Volkenkunde 129: 63-116. Dordrecht-Holland/Providence-USA: Foris Publications.

Rouffaer, G.P., 1910, “Oudjavaansche Inscriptie in Soembawa” dalam NBG 48: 110-113.

Roufffer, G.P., 1938, “Hindoejavansche Overblijfselen op Soembawa”, Tijschrift van het Kon. Ned. Aardrijskunding Genootschap.

Soekarto Karto Atmodjo, M.M, 1994, “Beberapa temuan prasasti baru di Indonesia”, dalam Berkala Arkeologi tahun XIV (Edisi Khusus), hlm. 1-5. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.